Husnul Khatimah

ChvEshWUUAAZSk-Ramadhan berlalu dan Syawal pun tiba.  Silaturahmi dari rumah ke rumah mungkin membuat bobot tubuh bertambah.  Maklumlah, menunya pada kompakan berlemak dari opor hingga rendang.  Belum lagi ngemilnya cookies manis-manis semisal nastar, putri salju dan lidah kucing yang memanjakan selera.  Hmmm…saat itulah kita merasakan luar biasa nikmatnya Syawal.  Perpaduan suasana syahdu kepergian Ramadhan yang entah bisa ditemui atau tidak di tahun berikutnya berbaur dengan kebahagiaan bertemu Syawal yang penuh niatan mensucikan hati.  Tambah lagi bagi yang punya rencana habis Syawalan terbitlah lamaran, tentu makin berbahagia.  Eaaa….^_*

Silaturahmi pun pastinya menambah kisah yang meninggalkan kesan mendalam di hati kita.

“Eh, kakeknya Nisa meninggal kemaren…”, ujar salah satu teman.

“Oh ya??? 

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”, aku dan seorang kawan lain serempak menyahut kaget.

“Aku juga nggak sempat ziarah kok.  Dikabarin juga udah kesorean”, tuturnya.

Nisa ini salah satu adek yang dibinanya dulu.  Juga yang membantuku membuat produk-produk flanel untuk dijual di lapak handmade #Princess Handicraft.  Biasa bermain dan menginap di rumah kami.  Aku yang jaraknya jauh dari lingkungan ini pun pernah bertemu kakeknya.

“Beliau meninggal sekitar pukul satu siang.  Begitu selesai shalat jumat, beliau hanya pulang ke rumah sebentar untuk mengantar sajadah.  Setelah itu langsung ke rumah anaknya dan menerima tamu-tamu yang datang silaturahmi.  Saat berbincang itulah, beliau tiba-tiba terdiam.  Dikira pingsan, anak-anak beliau pun memanggil petugas kesehatan”, lanjutnya lagi sambil menarik nafas.  “Begitu diperiksa, ternyata beliau sudah tidak ada…”, dia mengakhiri cerita.

Kami berdua yang mendengarkan pun turut menarik nafas.  “Luar biasa ya?  Sakaratul maut dimudahkan begitu…”, komentarku.

“Iya, penduduk sini pun berpendapat begitu…”, temanku membenarkan.

Dan hanya selang beberapa menit, tetangganya pun datang dan mereka mengisahkan hal yang sama.

“Pas habis jumatan itu bapaknya anak-anak sama anak tertua saya ini ketemu beliau lho Mbak di jalan.  Becanda-becanda ngajak balapan gitu…”, si ibu memulai kisah.  “Makanya kami kaget banget pas dikabarin beliau sudah tidak ada.  Padahal setengah jam sebelumnya masih terlihat sehat dan ceria”, ujarnya.

“Tapi beliau toh dimudahkan ya, Bu?”, temanku menyahuti.

“Iya, Mbak.  Beliau meninggal setelah Ramadhan,  setelah bermaafan dengan keluarga dan tetangga di bulan Syawal dan setelah shalat jumat juga.  Insya Allah husnul khatimah…”, sambungnya.

“Aamiin…”, kami semua menyahut serempak.

Terbayang dibenakku laki-laki separuh abad yang masih terlihat sehat.  Bahkan rambut pun tak banyak yang berubah warna.  Dengan sarung dan baju koko putihnya, beliau duduk di depan rumah sederhana fasilitas pemerintah untuk para transmigran berpuluh tahun lalu.  Bercanda dengan kami yang sedang mencari buah rambutan.  Lalu membantu memasukkannya ke dalam karung.

“Sudah, Mbah.  Jangan banyak-banyak…”, ujarku.  Melihat beliau membawa karung dan mulai memasukkan rambutan yang kami petik itu, aku tentu saja malu.  Oke, aku memang suka rambutan!  Saat nisa menyembunyikan buah itu di tas dan memberikannya padaku jika bertandang ke Pangkalan Bun, aku hampir selalu berucap, “Bawakan…”.  Yang artinya memang pengen banget minta rambutan.  Tapi membayangkan sekarung???  Wow!!!

“Nggak apa-apa.  Disini yang ada rambutan jadi yaa dibawa aja.  Kalau mau daun singkong ada di belakang.  Ubinya juga ada.  Ajak aja Nisa nyari…”, tawar beliau ramah.

Aku garuk-garuk kerudung.  “Hehe…nanti aja, Mbah.  Ini aja udah ngangkut banyak…”, sahutku saat melihat beliau mengikatkan karung rambutan itu ke motorku.

“Ada jeruk bali juga kalau mau…”, tawaran gigih beliau lainnya sambil menunjuk ke arah pohonnya yang sedang berbuah lebat.

“Terima kasih, Mbah.  Ta’ habisin rambutannya dulu baru nanti minta yang lain lagi…”.  Begitulah aku bertemu beliau pertama kali.  Ramah dan menyenangkan.  Saat itu aku membandingkan dengan kehidupan di kota, sekarung rambutan itu tentu dibayar dengan harga per kilogram.  Di tempat Nisa, ia adalah hadiah dari tetangga yang senang karena dikunjungi.  Aku bahkan menelfon Adel untuk mengisahkan tentang aku dan sekarung rambutan itu.  Betapa terkesannya aku!

“Lalu bagaimana dengan Nisa?”, tanyaku pada teman itu.  Ya, ini pertanyaan klise.  Siapa yang tak sedih dengan kepergian salah satu anggota keluarga?  Terlebih Nisa memang sudah ikut Mbahnya sejak masih SMP sampai dia menikah.

Kematian, entah bagaimana memang selalu menarik untuk dikisahkan.  Saat kecil, Ama sering menceritakan tentang kematian dan bekal yang harus dibawa manusia.  Seorang penjual kue yang menabung sedekah dengan sisa jualannya.  Seorang anak yang mendapat perahu yang menolongnya jika dia rajin membaca Al Qur’an dan seterusnya.  Hingga saat ini, keluarga, tetangga, kenalan satu persatu telah banyak yang mendahului.

“Saat naik pesawat, orang-orang merasa takut akan kematian”, senior bercerita.

“Kematian itu memang sudah ditentukan yang Maha Kuasa kok, Pak.  Jadi buat apa ditakuti kalau memang sudah tiba masanya?”, sahut senior yang lain.

Ya, memang sejatinya begitulah.  Bukan kematian yang kita takuti namun bekal apa yang telah kita siapkan menyongsong kematian itu.  Tak menunggu tua apalagi renta karena mungkin saja besok sudah giliran kita.  Dan jika saat itu tiba, semoga kita termasuk hamba-hamba yang dipanggil dalam keadaan husnul khatimah.

“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…” (TQS. An Nisa : 78).

Selamat idul fitri, mohon maaf lahir batin.

 

*Ditulis setelah merenungi banyak hal dalam hidupku.  Semoga tak ada lagi malas dan menunda-nunda dalam kebaikan…^_*

Tinggalkan komentar